Menemukan Arti Kehidupan Di Kawasan Teluk Triton

1. Menemukan Arti Kehidupan Di Kawasan Teluk Triton

By Erlin N. I. Djami Early.gif, oct. 2010 Terlibat dalam ekspedisi lengguru sebagai suatu kesempatan yang luar biasa, karena tidak semua orang mendapat kesempatan seperti ini. Saya bersyukur pada Tuhan karena saya diijinkan terlibat dalam ekspedisi ini. Melalui blog ini, saya ingin berbagi pengalaman dengan pembaca dimanapun kalian berada.

Ekspedisi ini melibatkan dua negara yaitu Perancis dan Indonesia, sangatlah jelas perbedaan dari kedua suku bangsa ini. Salah satunya adalah perbedaan bahasa padahal bahasa sangat diperlukan untuk berkomunikasi. Meskipun demikian, hal ini bukanlah suatu penghalang bagi kami untuk dapat berkomunikasi. Kondisi seperti ini sedikit memaksa kami untuk saling mempelajari masing – masing bahasa ditambah sedikit “bahasa tarzan”. Itu istilah yang saya gunakan untuk menggambarkan cara berkomunikasi jika kami tidak saling mengerti satu sama lain yaitu dengan membuat gerakan – gerakan tubuh untuk menyampaikan apa yang ingin saya sampaikan agar lebih mudah dimengerti.

Dalam ekspedisi ini, kami menggunakan kapal laut Airaha 02 miliki Apsor yang mengantar kami dari Sorong hingga ke Kaimana dan ke lokasi-lokasi sasaran ekspedisi ini, di kapal kami hidup bagai keluarga walaupun dengan ruang gerak yang cukup kecil kami dapat berbagi, dan ini sangat menyenangkan.

Ekspedisi pertama dilakukan di kawasan teluk triton, suatu kawasan dengan pemandangan pegunungan karst, lembah-lembah, pulau-pulau karang, pantai pasir putih dan pantai karang yang indah sebagai hasil karya yang maha kuasa. Namun dibalik keindahan alam ini menyimpan banyak misteri kahidupan, dan ini sangat menarik perhatian tim ekspedisi sesuai latar ilmu masing-masing yang ingin segerah bersentuhan secara langsung dengan alam sekitarnya.

Kebetulan saya dari bidang arkeologi bersama kedua teman saya, Erik dari Prancis dan Budiman dari Jakarta, kami dengan seribu harapan untuk menemukan dan mengungkapkan misteri kehidupan manusia masa lampau di wilayah ini. Kegiatan kami di awali dari desa Lobo, kami berangkat dari kapal Airaha 02 yang merupakan base camp kami menuju desa Lobo menggunakan zodiak, disini kami diterima dengan baik oleh masyarakat bahkan mereka siap mengantar kami ketempat-tempat yang kami inginkan. Di wilayah desa Lobo kami temukan gua, lukisan pada dinding karang dan benteng Belanda (Fort Dubus); selanjutnya tim arkeologi melanjutkan perjalanan ini dengan menggunakan perahu karet (zodiak) untuk menyusuri pulau-pulau karang di sekitar teluk triton di wilayah desa Lumira dan desa Kamaka, di wilayah ini kami temukan sejumlah tebing karang dengan lukisan dan penguburan ceruk serta beberapa artefak di wilayah desa Lumira, temuan-temuan ini membuat kami sangat senang apa lagi melihat ekspresi Erik yang ‘… wauw … gi…la …’ seperti seorang anak kecil yang dikasih hadiah sama orang tuanya.

Sebagai arkeolog, keberadaan temuan-temuan arkeologi tersebut membuat kami semakin bersemangat untuk mencari tahu lebih banyak lagi informasi tentang kehidupan manusia di wilayah teluk triton, sehingga kamipun harus tinggal dengan penduduk untuk menyelami kehidupan mereka dan melakukan wawancara untuk menggali informasi sejarah budayanya. Awalnya masyarakat sangat tertutup akan informasi sejarah budaya mereka, karena takut warisan budayanya akan diambil dari mereka. Tetapi melalui pendekatan budaya dan penjelasan tentang tujuan penelitian dan manfaatnya bagi mereka, akhirnya merekapun sedikit terbuka dengan cerita budayanya. Memang kekuatiran-kekuatiran seperti ini wajar terjadi, seperti kata pepatah “dalam laut dapat diduga, dalam hati siapa yang tahu’, di samping itu juga karena mereka percaya jika warisan leluhur mereka hilang maka akan terjadi bencana di wilayah mereka, keadaan seperti ini saya anggap sebagai suatu bentuk kearifan lokal dalam usaha melindungi lingkungan alam sekitarnya agar tetap terjaga kelestariannya dalam kehidupan yang serasi dan selaras.

Sebagai pengalaman pertama dalam ekspedisi di wilayah teluk triton selama 10 hari ini, saya mendapat banyak pelajaran tentang kehidupan, baik bersama teman-teman ekspedisi dan juga dari masyarakat yang hidup di sekitar teluk triton, mereka hidup apa adanya dan selalu bersyukur dengan keadaan yang ada, mereka tampak damai dan bahagia, walaupun dalam kaca mata modern mereka sangat tertinggal, jauh dari teknologi, bahkan dalam pelayanan pendidikanpun mereka sangat tertinggal, namun ada senyuman yang tersungging dibibir mereka, senyuman penuh misteri yang mampu merontokkan keegoisan dunia. Terima kasih Tuhan untuk semua pengalaman ini.

Selanjutnya kami melanjutkan perjalanan ekspedisi dengan kapal Airaha 02 menuju kawasan Teluk Etna ………. Sampai jumpa di petualangan berikutnya………!!!

2. Sampai Jumpa « ZONE NYAMAN »

By Intanurfemi Bacandra Hismayasari Bacandra.jpg, oct. 2010 Manusiawi ketika kita ingin selalu merasa nyaman, selalu tidur di kasur yang empuk, uang banyak, rumah mewah dengan isi lengkap di dalamnya. Ketika kita sedikit saja keluar dari kenyamanan itu kita berusaha untuk mencari solusinya. Manusia hidup tanpa manusia lain di sekitarnya, seolah olah yang lainnya hanya bayar sewa dan tidak perlu bersosialisasi dengan mereka. Bayangkan saja makan dan minum pun harus dilayani mesin. Manusia sudan mulai berkawan dengan teknologi canggih yang membuat hidupnya lebih mudah. Saya menyebut kondisi ini “zone Nyaman”. Terkadang kita terlalu dimanjakan dan dimonopoli oleh kenyamanan. Terkadang kita enggan keluar dari “zone Nyaman” itu sampai akhirnya kita terpenjara di dalamnya.

Ekspedisi Lengguru mengajarkan kepada kita semua, saya utamanya untuk sedikit keluar dari “zone Nyaman” itu. Yang biasanya tidur di kasur empuk , sekarang tidur di « para para » kayu yang keras. Yang biasanya berselimutkan kain hangat, sekarang berselimutkan bintang dan bulan. Saat ini saya mencoba sedikit meninggalkan zone tersebut. Bermandikan keringat dan sedikit rasa asin di lidah berusaha selangkah demi selangkah menapaki bebatuan menuju lebatnya hutan Papua.

Pepatah lama mengatakan:
Berakit-rakit ke hulu
Berenang-renang ke tepian
Bersakit-sakit dahulu
Bersenang-senang kemudian

Bagi saya pepatah ini sangat tepat. Setelah menanjaki tebing dan menuruni lembah serta sedikit halusinasi terbersit ada orang lain selain kami. Tapi mungkin kelelahan yang menghinggap yang menyebabkan semuanya. Kelelahan yang menyiksa itu akhirnya terobati, saya terpesona oleh indahnya ciptaan Tuhan yang mungkin tidak semua orang mempunyai kesempatan untuk menikmatinya.

walnya rasa takut hinggap dalam hati akan beberapa makhluk ciptaan-Nya. Kemudian lambat laun saya berusaha. Yakinkan hati bahwa Allah SWT Maha Bijaksana dan Maha Mengetahui. Seluruh ciptaan-Nya diciptakan untuk keseimbangan alam semesta tanpa bermaksud untuk menyengsarakan umat-Nya melainkan umat itu sendiri yang membuatnya. Terima kasih Ya Allah, karena memberiku kesempatan untuk mengagumi ciptaan-Mu dan berusaha meninggalkan segala keegoisan yang selama ini menyertaiku.

Terima kasih juga teman teman di ekspedisi ini yang telah mengajariku banyak hal dan memberiku kesempatan untuk keluar dari zone yang selama ini memborgolku. Selamat tinggal “zone Nyaman” , sampai Jumpa suatu hari nanti ketika aku benar –benar sangat membutuhkanmu.

3. Développement durable au pays des Papous ; Le Sasi, utopie ou réussite écologique ?

Par Erik Gonthier, Erlin N.I. Djami, Budiman Eric_Erlin_Budiman_jpg.jpg, oct. 2010

Dans nos pays occidentaux, nous pensons parfois avec certitude avoir mis au point des nouveautés sociales et économiques dans le cadre de la gestion durable de l’environnement. Ces avancées conceptuelles, qui apparaissent au gré des situations de crise ou à la suite de décisions d’urgence pour « sauver notre planète », ont pourtant été prises en compte et suivies depuis longtemps par certains pays comme en Papua-Barat, en particulier dans la région de la baie de Triton.

Dans cette région, des populations villageoises s’investissent depuis des générations dans une forme de gestion environnementale qui aurait tout lieu de servir de modèle. C’est dans le district de Kaïmana, dans l’île de Namatota, à Namatota, puis à Lumila, à Kamaka, à Lobo, que nous avons assisté à une démonstration menée en synergie par les pêcheurs et les cueilleurs dans le cadre de la gestion des ressources naturelles. Pour eux, l’idée est de maintenir certains quotas de pêche ou de cueillette en choisissant de ne plus cueillir ou pêcher pendant une période donnée des espèces naturelles mises momentanément en péril par la pêche ou la surpêche.

Les populations locales sont entièrement musulmanes à Namatota, chrétiennes et musulmanes ailleurs. L’ethnie Maïsiri, qui prédomine depuis près de 30 ans dans certains villages (Lumila, par exemple), est à l’origine issue de Tidore, aux Moluques (Maluku). C’est à la période hollandaise que les Maïsiri se sont implantés dans la région, prenant la place de groupes humains déjà implantés. Peu de restes archéologiques subsistent de la présence de ces derniers (peintures, morceaux de céramiques…). Bien que les Maïsiris furent suivis par des asiatiques (Moluques, charpentiers de marine Bugis de Sulawesi, Chinois, Javanais…), et que l’Indonésie affirma sa présence en Papua-Barat dès les années 1970, les Maïsiris ont continué à gérer le patrimoine de leur royaume comme ils l’avaient toujours fait auparavant.

Leur roi (rajah ou kepala desa) se nomme aujourd’hui Ombaïr « III ( ?)». Ses pouvoirs et sa souveraineté sont traditionnellement reconnus par le gouvernement indonésien.

Le Sasi est une des traditions appartenant à tous les clans propriétaires des zones de pêches et de cueillette de la région, généralement issus de la famille du rajah, et situées généralement autour ou dans les baies. Le Petuanan (propriétaire) peut lancer la période du Sasi sur une zone de pêche, par exemple pour prévenir la disparition de certains types de coquillages. Cette décision est prise avec l’aval d’un chaman qui interroge les augures. Le rajah donne à son tour un accord de principe. L’annonce est adressée aux autres propriétaires. Cette loi tacite ouvertement dénoncée, il devient interdit à quiconque, sous peine de sanctions, de collecter les coquillages dans cette zone d’exploitation, pour une durée déterminée allant de 1 à 3 ans. 2_gonthier.JPG, oct. 2010 Le Sasi correspond à une période de temps respectée par la population locale. Depuis des générations, les pêcheurs maïsiris exploitent les ressources de la mer, en particulier les holothuries, les langoustes, seulement 3 types de coquillages : bénitiers (tridacne), huîtres perlières (Pinctada margaritifera) et lola (gastéropode). Les espèces concernées par le Sasi n’appartiennent en aucun cas au domaine des poissons. Afin d’éliminer les tensions liées aux frustrations ou aux envies de lucre, le petuanan organise une fête d’ouverture et une fête de clôture du Sasi. Ce rituel convivial doit permettre de relativiser l’impact psychologique et économique individuel et rappeler combien est fragile l’équilibre du système. Sous la pression économique internationale, nationale, voire locale, le Sasi garantit une production durable, même si les quotas de pêche ne peuvent pas dépasser une certaine limite logique.

Dans cette petite économie de marché, le Sasi maintient la cohésion des hommes avec leur milieu. Ainsi le Sasi darat (Sasi de la terre) est basé sur le même principe que le Sasi Laut (Sasi de la mer). Il concerne les fruits comme la noix de coco (pas les légumes) ou certains types de bois. Tout ce qui est déclaré Sasi est considéré inconsommable pour l’ensemble des populations locales.

Des danses et des chants sont organisés. Ils accompagnent des défilés qui offrent aux regards des montagnes de plantes construites en tours et en pyramides. Toutes ces décorations sont réalisées à partir de feuilles de coco (janur). De nombreuses offrandes1 sont placées dans des bols en noix de coco évidées, puis déposées délicatement sur les flots marins. Symboliquement, les Namatota livrent à la mer tous les délices qu’ils chérissent le plus, dans l’espoir que la mer les entende, les reçoive et les accepte. Ainsi, la mer rassurée et calmée offrira au titre de l’échange compensatoire ce qu’elle recèle de plus précieux pour les populations locales : les crustacés et les coquillages en particulier. Rien ne doit rompre le charme de cette fête, auquel cas les Maïsiri ne pourront plus subvenir à leurs besoins et être condamnés au dépérissement.

Le Sasir peut être appliqué à plusieurs espèces marines en même temps. Comme les populations ne doivent manquer de rien pour subvenir à leurs besoins quotidiens, le Sasir peut être répété plusieurs fois. Ce bel exemple d’économie durable attaché à un véritable bon sens pourrait être appliqué dans nos sociétés dans les plus brefs délais. De cette gestion des ressources moins traumatisante pour l’environnement, ne pourrait-on tirer une certaine philosophie de vie ? L’humilité et l’attente face aux rythmes de la Nature doivent-elles être encore bannies ou rester exclues de nos manuels scolaires ?

1 Les denrées les plus précieuses, au sens de la communauté, sont le coprah, le lait de coco, la noix de coco, le tabac, le bétel, le kapur (chaux vive issue de la calcination partielle des coquillages et qui entre dans la réaction chimique du bétel), les bananes…

4. Sampai ketemu lagi Lobo

Par Jean-Michel Bichain JM.jpg, oct. 2010

Mercredi 20 octobre, 8h45,  l’Airaha appareille de la baie de Triton laissant dans son sillage le village de Lobo. Nous terminons la première phase de l’expédition et mettons le cap sur la baie de Kajumerah, plein Est, à environ 6 heures de navigation. Les nappes de brume s’élèvent lentement des flancs déchiquetés du Lamasieri, le ciel sombre et bas laisse poindre ponctuellement un fond azuré. De bonne heure ce matin, une délégation de l’expédition menée par Laurent, Jacques et Kadarusman sont allés –avant notre départ- saluer et remercier les villageois de Lobo. La moindre des politesses envers ces personnes qui nous ont accueilli et, pour certains, investis dans nos projets. A peine nos représentants de retour à bord, le capitaine guide la manœuvre pour le départ. Sur le pont avant, le second officier, Abdul Ghofir, indique d’un signe de la main à la passerelle que l’ancre est levée. La sirène retentie, les moteurs rugissent et l’étrave de l’Airaha fend de nouveau les flots après une semaine d’immobilisation.

Sampai ketemu lagi Lobo – A très bientôt Lobo.

Notre dernière journée de terrain hier a été des plus agréables. Objectif les sources sous-marine d’eau douce en bordure de baie. Petite explication géodynamique glanée auprès de Maitre Hubert Camus, distingué spéléo-karsto-géologue.

1_source.jpg, oct. 2010 Le massif du Lengguru trouve son origine dans le soulèvement de sédiments marins, commencé 10 millions d’années plus tôt. Soulèvement provoqué, pour faire simple, par la rencontre des plaques Australiennes et Indo-pacifiques. Un effet direct de la tectonique. Ces roches carbonatées élevées au dessus du niveau de la mer ont subit l’érosion par les eaux météoriques. Ces eaux douces se sont lentement infiltrées dans le massif pour former des ‘conduites’ souterraines qui resurgissent sous forme de sources.

Cependant, ce massif a subit, après une longue période de compression, une phase de détente tectonique. Certaines parties du Lengguru se sont donc lentement effondrées en suivant des zones de failles et certaines sont descendues en dessous du niveau de la mer. C’est le cas de la baie de Triton où les chapelets d’îles qui en émergent sont d’anciens sommets de montagnes. Les lacs en arrière de la baie, comme le lac Kamakawala, sont aussi la conséquence de cet affaissement et se sont remplis d’eau à partir des eaux d’écoulement provenant des zones plus élevées.

Concernant la baie de Triton, les sources qui étaient en altitude sont désormais, pour certaines, en-dessous du niveau de la mer. Imaginez quels écosystèmes particuliers cela peut constituer ! L’objectif de notre journée d’hier était donc de localiser et d’inventorier quelques unes de ces sources puis échantillonner la faune et la flore de certaines d’entre elles.

Bon ! Honnêtement, on peut trouver pire comme objectif. Je ne vais pas me plaindre de cette virée après les échantillonnages dans la mangrove. Nos deux zodiacs plein à craquer survolent prestement une mer agitée sous un soleil gaillard. Equipement minimum, masque-tuba-palmes-ceinture plombée et tout le monde à l’eau. Le premier indice, pour repérer ces sources, sont les remous qu’elles provoquent à la surface de la mer. Une fois en plongée, trois indices permettent de repérer l’eau douce : La température plus fraiche (24 à 25°C), le trouble provoqué par le mélange des eaux marines et douces et le flux de sable au niveau même de l’émergence de l’eau douce.

Autour de ces sources un spectacle extraordinaire d’ascidies, de cnidaires, de coraux et d’éponges multicolores et protéiformes. Ponctuellement, on observe des huitres perlières accrochées aux parois rocheuses sur lesquelles se développent de denses forêts subaquatiques. Ces mollusques sont utilisés par les Papous pour fabriquer leurs bijoux, ou kina, en forme de croissant qui suspendent à leur cou.

Prélèvements d’eau et de faune. Il est difficile en apnée de rester et de prélever au niveau même de la source. Mais dans l’une d’elle, à au moins cinq mètres de fond, un gastéropode typiquement des eaux douces de surface est récolté. Etonnant !

A chaque retour de plongée, nous amenons à Olga, restée sur le zodiac, les précieuses récoltes et tout un bestiaire commence à s’accumuler sur le plancher du bateau.

Retour en fin d’après-midi, avec un petit détour vers la mangrove pour compléter mes prélèvements de mollusques. La nuit tombe et au loin un rideau de pluie nous barre l’accès à l’Airaha. La météo transmise par Bernard est parfaite, à l’heure prête. Au moins 50 mn de précipitations nous attendent ce soir. Dans l’immédiat le zodiac file plein pot sur une mer forte et sous une pluie battante. Il devient même difficile de garder le visage exposé à la virulence des flots de la pluie et des vagues qui viennent s’abattre sur nous. Malgré ce, Bernard aux commandes, et bien à l’abri de son chapeau chilien, mène ce radeau de la méduse à bon port. Nous abordons l’Airaha trempés mais encore sous le charme de cette journée passée dans les eaux de la baie.

A 18h00,  toutes les équipes sont enfin réunies et c’est notre premier repas en commun depuis notre arrivée à Lobo. Partage des informations, des aventures et des découvertes de chacun. A l’écoute de la découverte, dans une grotte, d’une grenouille portant ses petits sur le dos, notre herpétologue patenté Philippe G. fait de petits bonds d’extases sur le pont arrière. Il s’agit de la première découverte d’un tel comportement pour un amphibien de Nouvelle-Guinée. Malheureusement, le bel animal -la grenouille évidemment- a échappé à la récolte. Seuls les petits ont été collectés et des images réalisées. Philippe depuis ne cesse de tourner en rond d’une coursive à l’autre. Il n’est pas difficile d’imaginer quel sera son prochain objectif dans les jours qui viennent.

Alors que le repas touche à sa fin, une nuée absolument terrifiante de termites vient s’abattre sur les lumières du navire. Des centaines de milliers de ces animaux volants commencent à s’accumuler sur les coursives et ponts. Les gobelets se remplissent et mêmes les écrans de nos ordinateurs sont recouverts d’une nappe grouillante. Chacun cherche une stratégie pour échapper à cette nuée, seul Gilles ignore l’évènement et continu son travail de couture (note de la rédaction : cet ouvrage est encore actuellement en cours à 10:20 HL ; 20.10.2010). 2_termite.jpg, oct. 2010

Vers 22h30,  l’assaut se calme et nous découvrons un navire dans un état pitoyable. Malheur à celui qui a oublié sa brosse à dent sur le pont arrière. Je ne veux dénoncer personne, il s’agit de la mienne. Quel bilan comptable pour les biologistes durant cette première phase de l’expédition ?

Nous n’annoncerons pas les espèces nouvelles pour la science, ce qui est prématuré et particulièrement pour les invertébrés pour lesquels aucune expertise n’est réalisée à bord. En ce qui concerne les vertébrés, 27 espèces de poissons vivants dans les petits écoulements ont été inventoriés ; 85 espèces d’oiseaux ont été identifiées et une dizaine d’espèce de chauves-souris a été capturée. Pour les invertébrés au moins 13 écrevisses de rivières, quatre espèces d’escargot d’eau douce (hydrobie) et une vingtaine de grands escargots terrestres de forêt. Pour les insectes et la faune du sol, impossible à dire. Tous les prélèvements sont constitués de milliers de spécimens de taille subcentimétriques voire submillimétriques. Seul le travail en laboratoire fournira une vue plus précise. Très prochainement, certains de nos spécialistes vous livrerons une vue plus dynamique de leur bilan.

Dans l’immédiat, l’Airaha a trouvé son rythme de croisière. Chacun profite de cet interlude pour faire lessive, bricoler, ranger son matériel et/ou saisir les notes de terrain.

L’Airaha entre dans la baie de Kajumerah vers 15h00, ce mercredi 20 octobre. Nous sommes accompagnés par trois dauphins du genre Stenella qui fusent à quelques centimètres de la proue. Les trois compères alignent acrobaties et voltiges subaquatiques, puis quand le navire ralenti, disparaissent en un éclair comme si le jeu n’en valait plus la peine.

4_dauphin.JPG, oct. 2010

15h30 , l’Airaha accoste à Avona, une ‘ville’ nouvelle construite autour de la pêche. Le port, les bâtiments de conditionnements du poisson avec des ouvriers habillés de blanc, quelques bâtiments administratifs puis une zone pavillonnaire aux jardins fleuris et plus loin le centre commercial constitué d’une petite place et de quelques magasins. Les ouvriers sont logés dans des bâtiments sur pilotis face à la mer. Sans avoir visité ces logements, il n’est pas difficile d’imaginer les conditions précaires dans lesquelles vivent ces familles.

1_gonthier.JPG, oct. 2010 Nous resterons à quai dans le port d’Avona pendant tout notre séjour dans la baie de Kajumerah. Demain, premiers repérages dans les terres, une bonne bouffée de ‘tropicalité’ après cette réalité industrielle.

3_situation.jpg, oct. 2010 Quel jour sommes-nous ? Nouveau lieu, nouvelle donne !

3 réflexions au sujet de « Menemukan Arti Kehidupan Di Kawasan Teluk Triton »

  1. Bonjoir à vous. Quelle page encore ce jour !
    N’a-ton pas essayé de faire un « sasi » sur le thon rouge ? …. Dur dur !
    Quelle tchatch Jean-Michel, je ne sais pas si vous enseignez, mais si c’est le cas vos étudiants ont un bol ! C’est comme les termites, ils n’attendent pas que vous les cherchiez, ils s’invitent à l’inventaire…..
    Salut à tous et vivement demain.
    D’Jack

  2. Oups ! j’ai effacé ma missive ! (Marco ne rit pas !!) je vous disais donc que nous sommes assez fascinés par toutes vos découvertes,j’espère qu’il y a une photo de la grenouille portant ses petits !
    vos plongées dans les eaux de résurgence turquoises font aussi réver !
    mais comme le dit si bien Clem, vous etes bien loin de nos petits soucis de ravitaillement en essence et des conflits sociaux que nous vivons…Si nous pouvions appliquer le Sasi et se sentir un peu plus concernés par la communauté…
    Un mot spécial pour Mr le Docteur que je ne connais pas,
    j’ai beaucoup apprécié votre analyse de la situation sanitaire des voyageurs !
    bien coachés par vos soins, tout se passera bien !
    Selamat malam semua, sampai besok !
    Nat

Les commentaires sont fermés.