Mengarungi lautan, melintasi waktu

1. Mengarungi lautan, melintasi waktu

Par Budiman Budiman.jpg, oct. 2010 Manusia dengan segala kompleksitasnya selalu meninggalkan budaya yang menggambarkan segala kehidupannya. Budaya tersebut dapat dinikmati, dipelajari dan dipahami oleh manusia pada masa berikutnya melalui karya yang dihasilakannya. Karya, merupakan satu curahan pemikiran dari sang pencipta. Karya dapat berupa benda, ide-gagasan, pengetahuan dan lain sebagainya.

Sehubungan dengan penelusuran budaya masa lalu, kami mencoba untuk mengarungi laut dan menyusuri tebing-tebing karang yang terbentang disekitar pantai Papua Barat. Berawal dari Sorong, menyusuri lautan selama dua hari untuk tiba di teluk Triton, distrik Kaimana, Papua Barat. Kami mencoba merentang waktu dengan satu harapan dapat mengetahui kehidupan masyarakat masa lalu melalui hasil karyannya.

Beberapa penelitian sebelumnya telah menginformasikan mengenai sejarah budaya masyarakat Papua. Lukisan dinding karang (Seni Cadas) merupakan salah satu hasil karya manusia masa lalu yang banyak ditemukan selain situs-situs lain seperti gua yang juga banyak mengandung peninggalan masa lalu dan kehidupan masyarakat yang masih sederhana. Lukisan tersebut merupakan satu gambaran kehidupan yang dicurahkan oleh para seniman melalui goresan-goresan atau kuasan warna pada satu bagian permukaan dinding karang. Sedangkan peninggalan lain merupakan bukti adanya kehidupan masa lalu di wilayah ini. fig0_budiman.jpg, oct. 2010 Fig 0. Gugusan karst di sepanjang pantai selatan Papua.

Di wilayah teluk Triton, kami akan mencari, menggali, memahami dan menemukan segala informasi mengenai hal yang kami cari. Wilayah yang sangat indah dan damai, dengan gugusan karst yang mengelilinginya memeberikan satu pengalaman yang sangat berkesan. Bekerjasama dengan tim penelitian lain seperti biologi, geologi dan paleontologi, merupakan satu kesempatan dalam membuka wawasan dan mencoba untuk saling mengisi dan melengkapi. Kami berharap dapat menemukan satu hal yang baru, untuk melengkapi pengetahuan mengenai sejarah kehidupan masa lalu di wilayah ini.

2. Potensi Arkeologi di wilayah desa Lobo, Distrik Kaimana, Papua Barat

Par Budiman, Erik Gontier & Erlin Budiman_Eric_Erlin.jpg, oct. 2010 Penelusuran potensi arkeologi di wilayah desa Lobo merupakan salah satu objektif dari misi Lengguru-Kaimana 2010 saat ini. Penelitian arkeologi di wilayah ini belum dilakukan secara intensif, baik ekskavasi maupun survei kawasan. Tujuan dari penelusuran kali ini hanya sebatas pada pendokumentasian situs-situs dengan melihat jenis situs, morfologi dan faktor lainnya yang dapat dijadikan parameter dalam menilai satu potensi situs. Dengan survei ini diharapkan dapat memberikan data tambahan keragaman situs-situs arkeologi di wilayah Papua Barat. Desa Lubo, distrik Kaimana merupakan satu desa nelayan yang berada disebuah lembah gugusan karst yang terbentang di sepanjang pantai selatan Papua Barat. Terletak tepat di bibir pantai teluk Triton. Mata pencarian utama masyarakat yaitu nelayan. Namun masyarakat desa Lubo melakukan juga kegiatan perkebunan, khususnya kebun pala, pisang, kelapa, pepaya dan tanaman rambat seperti ubi dan talas. fig1_budiman.JPG, oct. 2010 Fig 1. Suasana wilayah desa Lubo yang merupakan bagian dari gugusan karst wilayah selatan Papua-Barat.

Berdasarkan beberapa informasi dari masyarakat, di wilayah ini terdapat beberapa gua dan dinding-dinding kapur yang memiliki lukisan di dalamnya. Namun untuk tahap pertama, survei akan difokuskan pada penelusuran gua-gua yang terdapat di wilayah desa Lubo. Gua yang terletak di wilayah ini berada di kaki gunung dan untuk menuju lokasi diperlukan kurang lebih satu jam perjalanan melewati perkebunan dan hutan yang cukup rapat. Perjalanan menuju gua cukup sulit karena harus melewati lereng bukit yang cukup curam dengan menyusuri jalan yang berbatu dan basah. Selain itu banyaknya pohon yang tumbang dan semak belukar sangat mengganggu perjalanan. Dari jalan yang dilewati, nampak bahwa masyarakat sekitar jarang sekali mengunjungi gua tersebut. fig2_budiman.JPG, oct. 2010 Fig 2. Perjalanan menuju lokasi gua

Lokasi pertama yang dikunjungi yaitu satu gua yang terdapat di arah timur desa. Gua Sembuaya, demikian masyarakat setempat menamakannya merupakan gua yang terletak di tebing bukit karst yang dikelilingi oleh pepohonan besar seperti, pohon Matoa, Pala dan semak belukar. Mulut gua mengarah ke timur dengan lebar sekitar 9 meter. Gua Sembuaya merupakan gua yang cukup panjang dengan panjang total sekitar 14 meter dan memiliki kemiringan yang curam (hampir 30°) dengan tinggi sekitar 1-2 meter. Untuk bagian dalam dari gua cukup luas dengan lebar sekitar 3 – 5 meter dan tinggi 2 meter. Pada ruangan dalam terdapat aliran air yang berasal dari proses karstifikasi gua yang masih aktif. Aliran air tersebut membentuk sebuah sungai kecil dengan panjang sekitar 5 meter. Pada dinding dan atap gua, tidak terdapat hal yang menarik seperti gambar atau lukisan gua. Informasi yang kita dapatkan hanya sebatas pada proses karstifikasi gua yang masih akitif. fig3_budiman.JPG, oct. 2010 Fig 3. Gua Sembuaya, desa Lubo

Gua Sembuaya memiliki potensi arkeologi yang cukup besar. Hal ini dapat di lihat dari sedimen yang cukup tebal dan kering terutama di mulut gua. Sedangkan temuan permukaan di sekitar gua tidak begitu mengindikasikan adanya satu hunian manusia. Temuan permukaan tersebut hanya beberapa tulang hewan seperti: tikus (Rodentia), babi (Suidae), Carnivora, dan beberapa micromamifer. Selain itu ditemukan pula beberapa jenis moluska baik darat, air tawar dan laut. Namun sangat disayangkan pada permukaan gua tidak ditemukan alat batu. Meskipun temuan permukaan gua tidak mengindikasikan adanya hunian purba, ketebalan sedimen yang kering memunculkan sebuah pertanyaan besar mengenai deposit artefak di dalamnya. Untuk itu diperlukan satu ekskavasi yang sistimatis untuk menjawab pertanyaan tersebut. Namun, untuk penelitian kali ini, kita hanya terbatas pada survei dan tidak melakukan penggalian. fig4_budiman.JPG, oct. 2010 Fig 4. Beberapa temuan permukaan seperti kerang dan tulang di gua Sembuaya

Lokasi kedua yaitu gua Limbo Serengah. Terletak di sebelah Timur Laut desa Lubo, di areal perkebunan pala. Gua ini memiliki mulut yang sangat kecil, dengan ukuran lebar sekitar 1 meter. Bagian dalam gua cukup luas dengan panjang sekitar 3 meter. Pada gua Limbo Serengah, tidak ditemukan adanya temuan arkeologis seperti tulang, kerang dan lainnya, sehingga dapat dikatakan potensi arkeologi gua ini sangat kecil. fig5_budiman.JPG, oct. 2010 Fig 5. Gua Limbo Serengah

Untuk sementara, tidak ada informasi lain mengenai adanya gua di wilayah desa Lubo. Melihat keberadaan wilayah ini yang terletak di antara pegunungan karst, tidak menutup kemungkinan adanya gua atau ceruk lain di wilayah ini.

3. La crique Bichain

Par Philipp Keith philipp_keith.jpg, oct. 2010 L’équipe Gobie a passé 2 jours sur la crique Bichain, un affluent de la rivière Lengguru, ainsi nommé car c’est Jean-Michel qui nous y a amené. 25 minutes de zodiac sur la Lengguru, puis 1h15 de marche à travers la forêt afin de croiser ladite crique. Une petite rivière sur blocs de calcaire et de grès qui forment une succession de vasques et de cascades.

Après avoir installé le camp, l’équipe procède à un inventaire de la faune présente dans la rivière par la méthode de la pêche électrique. Cette méthode est réalisée à l’aide d’un petit appareil portatif muni d’une petite batterie de moto et de deux électrodes, une anode et une cathode. Cette dernière traine en permanence dans l’eau, tandis que l’anode est un manche muni d’un interrupteur. Pour pratiquer cette méthode d’inventaire, le porteur de l’appareil se place en amont du ou des porteurs d’épuisettes (photo). Lorsque l’on appui sur l’interrupteur, un champ électrique se crée entre les deux électrodes. Tout poisson qui se trouve dans ce champ ne peut nager, car sa colonne vertébrale s’oriente dans le sens du champ électrique. Le débit de la rivière entraîne ensuite l’animal dans l’épuisette. Si on relâche l’interrupteur, l’animal se remet à nager. Cette méthode n’est pas mortelle pour les poissons. C’est très utilisé par les organismes gestionnaires de la faune aquatique car elle permet de capturer des poissons, les mesurer, les peser voire de les marquer afin de les retrouver à intervalles réguliers, un an après par exemple et savoir s’ils ont grandi, s’ils sont en bonne santé, etc…

Ici, la méthode est juste utilisée pour connaître les espèces présentes sur le site.

Après avoir parcouru la rivière de bas en haut avec cette méthode, l’équipe procède à un deuxième inventaire par utilisation de masque et tuba. En effet, des espèces existent en très faible densité dans ces rivières, et la pêche électrique peut parfois ne pas être efficace.

1_crique.JPG, oct. 2010 A la fin des deux journées, plusieurs espèces de poissons gobies aux couleurs incroyables (rouge, bleue, vert…) ont pu être inventoriés.

2_crique.JPG, oct. 2010 A la tombée de la nuit, éclairé par une lune éclatante, auprès du feu de camp et après le repas réparateur, P. Gaucher a posé ces pièges à chauve-souris le long de la rivière, puis est parti à la recherche des animaux nocturnes. De nombreuses grenouilles, dont les chants assourdissants et mélodieux bordent la rivière, des reptiles qui partent en chassent et quelques cerfs de java furent de la partie.

A l’aube, après une nouvelle prospection par apnée, le groupe est reparti vers le site où le zodiac devait le récupérer, la tête pleine de ses découvertes …

Une réflexion au sujet de « Mengarungi lautan, melintasi waktu »

Les commentaires sont fermés.